Cinta,
Ta’aruf-mu salah langkah !
Langit
kemerah-merahan yang menyelimuti alam tempat tinggalku mulai merona dengan
barisan awan-awannya di medan senja. Aku
yang duduk dibawahnya terusik pada iringan kisah masa laluku yang membuat
hatiku sering diserang rasa dag dig dug tidak karuan . Traumatik rasanya. Ya…
benar , benar-benar traumatik. Bagaimana tidak , cinta memang perkara fitrah
namun kali ini cinta itu dibalut dengan kesalahpahaman manusia dalam
mengartikan kata ta’aruf.
Beberapa
waktu silam ketika aku beranjak dari dunia putih abu-abu, rasanya bebas sudah
segala beban yang terus menerpa otak kiriku. Sedikit istirahat dari banyak buku
yang menumpuk di meja belajar. Saat itu, mulailah aku melamar di salah satu
lembaga kesehatan yang berbasis islamik, tak menunggu lama akhirnya aku
diterima sebagai salah satu tenaga medis di sana. Uh.. senangnya. Hatiku meronta-ronta gembira. Keseharianku yang sudah
terlepas dari kewajiban sebagai pelajar, mulai ku isi celah-celah waktu dengan
kegiatanku di dunia maya: membaca artikel islami, kata-kata motivasi, serta
menggali wawasan keislamanku sebagai muslimah. Tak sengaja ketika aku membaca
salah satu postingan Fun Page di situs jejaring social Facebook, aku tersentak
kagum pada posting tersebut yang isinya mengisahkan bagaimana harmonisasi cinta
Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra yang tidak pernah disentuh oleh kesalahpahaman
dalam mengapresiasikan cinta. Sucinya cinta mereka membuatku iri dan ingin
menjadikan kisah hidupku dalam perkara cinta layaknya cinta yang dikisahkan
mereka. Merasa tertarik , aku iseng-iseng meng-copas (copy-paste) posting tersebut
dan ku update dalam status Facebook-ku, barangkali
bisa menginspirasi teman-teman Facebook-ku yang lain ketika membaca status ini,
dalam benakku berkata.
Wooww…
ternyata status yang ku update itu memberikan banyak sumbangan jempol (like)
pembacanya. Tak lama room chat Facebook-ku didatangi tamu tak diundang, yang
sedikit mengusik aktivitasku disana. (Siapakah
dia ?) Ya, sebut saja dia Si Ikhwan,
seorang Ikhwan yang lembut tutur katanya, yang fahim agamanya dan yang smart
intelektualnya (-awalnya yang aku tau). Dia adalah seorang mahasiswa semester
awal, jurusan Matematika Science, FMIPA di salah satu Universitas di Jakarta. Awalnya
tak banyak bicara, namun intensitas komunikasi yang tak jarang di Facebook yang
pada akhirnya membuat aku dan dia akrab juga. Lama-lama ko’ ada yang aneh ya kalau enggak’
komunikasi sama Ikhwan tersebut, walaupun yang dibicarakan adalah perkara-perkara
urgensi seperti keagamaan dan seputar fakta kehidupan baik jasmani maupun
ruhiyah. Tak menutup kenyataan hingga pada akhirnya aktivitas chatting dan
saling bertukar postingan di Facebook semakin meningkat. Mulai dari
memberikanku ucapan selamat dan motivasi karna telah diterimanya aku di salah
satu lembaga kesehatan, sampai pada malam hari kelahiranku tiba, Ikhwan
tersebut memberikanku banyak kejutan lewat puisi-puisi yang di posting dalam
wall Facebook-ku hingga kata-kata yang dituturkannya dalam room chat yang berisi
“Dik, Maukah adik menjadi istri kakak
dunia dan akhirat”. Byuurr…. rasanya hati seperti disiram madu, manis
rasanya. Ikhwan menawarkan diri untuk berta’aruf denganku dan berprinsip
sebagai seseorang yang anti-pacaran. Seketika aku teringat pada kisah Ali dan
Fatimah yang menginspirasiku untuk mengikuti jejak cinta mereka, mungkin
ta’aruf adalah solusinya. Malam itu hanya rasa haru yang menyelimuti hati di malam
miladku yang ke-17. Mungkin masih tergolong labil untuk belia sepertiku yang
baru saja menginjakan kaki di usia ke-17, apalagi ingin mengarungi hari ke
dalam prosesi ta’aruf yang diharapkan akan berujung ke jenjang pernikahan. Saat
itu aku tak banyak bicara, dan hanya mengiyakan apa yang dikatakan Sang Ikhwan
saat berlangsungnya komunikasi di Facebook.
Sepertiga
malam lepas dari obrolan tersebut, aku munajatkan segala isi hati yang menumpuk
dalam benakku, istikharah cinta hampir ku lakukan setiap hari untuk memohon
kepada-Nya agar jalan ta’aruf ini berjalan sebagaimana yang diinginkan aku dan
Ikhwan tersebut. Hem… hari-hariku rasanya semakin sering dihabiskan berkomunikasi
dengan Sang Ikhwan walau hanya di Facebook. Beberapa bulan berlalu, akhirnya
Ikhwan memintaku agar dia bisa menghubungiku lewat telepon berkenaan dengan
masalah urgensi yang terjadi dalam hubungan antara aku dan dia. Jelas pada
akhirnya kami berdua bukan saja berkomunikasi lewat jejaring social Facebook
tapi juga lewat telepon. Setiap hari Facebook dan telepon selularku dipenuhi
dengan kehadiran Sang Ikhwan (ya.. yang
seperti ini sepertinya bukan lagi disebut ta’aruf) -tapi kala itu yang
menguasai hati dan fikiranku adalah tentang dia dan keinginannku untuk menikah.
Melihat
hari-hariku yang dipenuhi dengan komunikasi bersama Sang Ikhwan di telepon
selular, Ibu, Ayah dan Saudara-saudaraku gerah juga, dan mencoba mencari
informasi tentang Ikhwan tersebut, juga sejauh apa hubunganku dengan dia. Aku
jelaskan kepada kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku mengenai keseriusannya
padaku, walau tak sedetikpun aku dan Sang ikhwan tersebut pernah mengenal atau
bertemu dalam dunia nyata. Zlep,
serentak mereka terkejut dengan apa yang ku katakan , mungkin yang ada dalam
benak mereka adalah kekhawatiran dan kewas-wasan yang saat itu juga
tergambarkan di paparan raut wajah mereka, aku adalah gadis yang masih sangat
belia, labil dan belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk untuk
diriku sendiri, mana mungkin aku bisa mengarungi bahtera rumah tangga yang
jelas pasti banyak tantangan di dalamnya. Begitu sekiranya fikiran mereka
terhadapku saat itu. Tapi aku mencoba untuk meredam kekhawatiran mereka dengan
pemikiranku yang hanya tertuju pada keberlangsungan hubunganku dan Ikhwan.
Alhasil mereka tetap tidak menyetujui hubungan ini. Berbagai cara mereka
lakukan untuk meyakinkanku bahwa jalan yang ku ambil bersama Ikhwan adalah
sebuah kekeliruan, nampaknya seperti terhipnotis oleh segala kelebihan Ikhwan
dari segi agama, intelektual dan social, mati-matian aku membela Sang Ikhwan di
depan keluargaku sendiri. Jelas mereka jadi sangat memusuhiku, gelar sebagai
“Anak Pembangkang” juga telah dinobatkannya padaku. Sedih rasanya melihat
perlakuan keluarga sendiri terhadapku hingga aku putuskan untuk menceritakan
hal ini kepada Sang Ikhwan. Aku jelaskan kepada dia apa yang selama ini terjadi
antara aku dan keluarga. Sang Ikhwan mencoba menjadi pendengar yang baik bagi
hatiku dan menenangkan aku yang dilanda isak tangis kala itu. Entah apa yang
telah dia rasuki ke dalam fikiranku, segala dan apa yang dia katakan nampaknya
tak sedikitpun aku elakkan, selalu aku percaya apa-apa yang dia katakan dan
yang diceritakannya kepadaku. Apa yang dia katakan selalu aku anggap benar,
sehingga aku relakan memperjuangkan Sang Ikhwan di hadapan keluarga.
Suatu
saat kedua orang tuaku memintaku agar Sang Ikhwan menemui mereka, menjelaskan
apa yang terjadi antara aku dan Sang Ikhwan. “Jika Dia memang serius kepadamu, Bawalah Ikhwan tersebut menghadap
Ayah dan Ibu” begitu kata mereka. Tak banyak kata, aku menyampaikan pesan
Ibu dan Ayah kepada Ikhwan. Tanpa ambil pusing Sang Ikhwan mengiyakan undangan
kedua orang tuaku dan berjanji akan menemui mereka. Aku sedikit tenang. Alhamdulillah, semoga petemuan nanti akan
membuka pintu hati keluargaku yang selama ini tertutup untuk kehadiran Sang
Ikhwan, demikian hatiku berkata.
Hari
berganti hari, janji hanya sekedar janji. Janjinya untuk menemui keluargaku
selalu diundur-undur dengan alasan masih banyak pekerjaan yang harus dia urus
dan selesaikan, sementara keluarga sudah berkali-kali menagih janji kepadaku.
Aku bingung sendiri bagaimana menghadapi kondisi emergency ini. Suatu saat, ketika aku tengah menjalani aktivitas
pekerjaanku sebagai tenaga kesehatan di lembaga tempat aku bekerja, seorang
laki-laki dengan atasan berlapis jaket hitam dan celana hitam mendatangiku,
awalnya aku kira hanya passient biasa atau pelanggan yang ingin membeli obat,
namun laki-laki itu melontarkan banyak pertanyaan seputar kesehatan kepadaku,
ku jawab seperlunya dan tidak ingin banyak bicara. Pembicaraan selesai,
laki-laki itu menyodorkan sebuah kitab bahasa Arab kepadaku, dan menjelaskan
bahwa dia adalah seseorang yang diberikan kepercayaan dari Ikhwan untuk menyampaikan
amanat berupa kitab bahasa Arab tersebut kepadaku. Dengan rasa terkejut dan keheranan
hatiku bertanya-tanya “mengapa Ikhwan
tersebut menyuruh laki-laki itu yang mengantarkan kitab ini ?”. Tanpa ambil
pusing aku menerima kitab itu, dan laki-laki itupun segera pergi. Sampai di
rumah, aku menceritakan kejadian tadi kepada keluarga, keluargaku terkejut dan
berfikir sama dengan apa yang ku fikirkan, mengapa
tak Ikhwannya langsung yang mengantarkan kitab itu kepadaku.
Beberapa
hari setelah kejadian berlangsung, Sang Ikhwan mengirimkanku sebuah pesan
singkat, segera ku buka inbox yang masuk di telepon selularku. “Aku dalam perjalanan menuju rumahmu, Malam
ini aku akan datang memenuhi undangan orang tuamu ”. Aku terdiam membaca
pesan singkat ini, tak ada yang bisa menggambarkan perasaanku saat itu dan
tanpa berfikir panjang aku kabarkan berita ini kepada orang tuaku. Aku hanya
berharap pertemuan orang tuaku dan dia nanti akan membuka hati keluarga untuk
kehadiran Ikhwan serta keberlangsungan hubungan ini, walaupun pertemuan ini
telah ditunda-tunda sepihak selama beberapa bulan oleh Si Ikhwan. Tak lama
seorang laki-laki berkostumkan kemeja kotak-kotak berlapiskan jaket hitam,
bersarung hijau, mengenakan peci, ransel yang menggantung dipunggungnya dan
sebuah buku yang selalu menempel ditangannya kemanapun dia pergi yang merupakan
ciri khas laki-laki tersebut tengah bertamu ke rumahku. Salah satu keluarga
mempersilahkannya duduk dan menunggu. Aku yang masih di dalam rumah mencoba
melihat di balik jendela kamarku dan memastikan siapa orang yang tengah bertamu
itu. Ku intip sedikit dan… Huuzsshhh, “bukankah
yang seharusnya menemuiku adalah Ikhwan yang selama ini tergambar di fikiranku,
tapi kenapa laki-laki ini lagi yang datang menemuiku,? “ laki-laki yang
tempo lalu mengatarkan sebuah kitab titipan Ikhwan kepadaku. Aku memanggil ayah
dan menginterupsikan untuk menemui laki-laki itu. Ayah segera menemuinya
sementara aku lebih memilih untuk mendengarkan pembicaraan mereka dari dalam.
Selang beberapa menit pembicaraan mereka berlangsung, kakakku yang ada di dalam
bersamaku, menyuruhku untuk menemui laki-laki itu bersama Ayah yang terlebih
dahulu menemuinya. Terpaksa aku keluar juga, aku duduk di samping ayah dan mendengarkan
pembicaraan mereka. Setalah mendengar jawaban dan penjelasan laki-laki itu atas
pertanyaan ayah, serasa kepala mau pecah, kesal bercampur malu menjadi satu.
Diam dan berusaha tenang yang hanya bisa ku lakukan saat itu. Kesimpulan dari
jawaban laki-laki itu dan apa yang dijelaskannya kepadaku dan ayah adalah
sebenarnya dialah Ikhwan yang selama ini menjalin hubungan denganku, bahwa dia
bukanlah apa yang selama ini diceritakannya kepadaku, bahkan identitas sang Ikhwan
yang selama ini aku tahu bukanlah identitas yang sebenarnya, identitas
keluarganya yang diceritakan selama ini kepadaku bukanlah identitas yang
sesungguhnya, bahkan beberapa cerita tentang aktivitasnya sehari-hari adalah
bentuk rekayasa yang dibuatnya juga, foto-foto yang terlampir di belantara
facebooknya adalah foto hasil smart-editing yang menjadikan gambar dirinya
dalam foto tersebut sangat berbeda jauh lebih bagus dengan tampak aslinya.
Dengan gamblangnya dia menjelaskan satu hal di hadapan aku dan ayah, bahwa
awalnya dia hanya menjadikanku bahan eksperimen dan penelitian cintanya, namun
tak menutup kenyataan bahwa pada akhirnya Sang Ikhwan juga terperangkap dalam
permainan cintanya sendiri. Dia mencintaiku, dan berharap bisa melanjutkan
hubungan denganku.
Mengetahui
hal itu, keluargaku merasa terhina dengan apa yang dilakukannya padaku, tanpa
kompromi lagi sudah jelas keluargaku tak sedikitpun merestui hubungan yang ku
jalani bersamanya. Sembari menutup kekesalan, kekecewaan dan rasa malu-ku
kepada orang tua dan keluarga bersarku yang sebelumnya sudah mendengar kabar angin
bahwa aku akan segera menikah, aku mencoba menghubungi Sang Ikhwan dan meminta
penjelasan yang lebih luas tentang apa yang selama ini dia lakukan kepadaku,
dengan menampilkan sikap baik seperti saat sebelum ku bertemu dengan dia, yang
mencintai dia dan menghargai setiap apa yang dia katakan kepadaku. Dan ternyata
penjelasan yang sama seperti yang dijelaskannya waktu dia ke rumahku yang aku
dapatkan dari mulutnya lewat telepon. Ahh…
aku tak percaya, seperti mimpi rasanya. Aku termenung dalam kekecewaanku,
hari-hari ku lewati dengan penuh kebimbangan, dan rasa sakit yang mendera jiwa,
ingin meninggalkan kisah kelam ini namun aku menyadari bahwa sedikit aku
mencintainya namun banyak kenangan yang telah aku lalui bersamanya, aku telah
terbiasa berkomunikasi dan aneh dirasa jika sehari saja tak mendengar suaranya
diapun merasakan hal yang demikian, dia sangat mencintaiku, cinta pertamanya
adalah aku dan berharap kelak aku bisa menjadi istri baginya. Namun melihat
situasi dan kondisi keluargaku yang tak lagi sedikitpun memberi restu, rasanya
tidak mungkin hubungan ini bisa dilanjutkan, Sang Ikhwan-pun penuh kebimbangan,
disatu sisi dia sangat mencintai aku dan ingin mempertahankan hubungan yang
telah berlangsung ini, tapi di sisi lain restu dari keluargaku sudah tak
mungkin lagi didapatkan akibat ulahnya sendiri. Sementara, aku rapuh di atas
kekecewaan terhadap apa yang telah dilakukannya padaku selama ini, fikiranku
semakin kacau tidak karuan, suka merenung dan menangis seketika. Di tengah
ketermenungan, aku mencoba menghibur diri dan log in ke Facebook-ku, barangkali
banyak postingan yang bisa memotivasi diriku yang sedang dalam keterpurukan, ku
buka dan ku dapatkan Message dari seorang Akhwat yang sedikit banyak memberikan
motivasi dan banyak pelajaran berharga.
“ Assalamu’alaikum Ukhti..”
Bagaimana kabar imanmu hari ini ?
Semoga hatimu masih dalam tuntunan dan Rahmat-Nya.
Ukht.. Jika kamu selalu murung dan menyesali apa yang tengah melandamu saat ini , mungkinkah kamu bisa saja disebut sebagai hamba-Nya yang kurang bersyukur ???
Ukhti… engkau adalah gadis belia yang cantik dan manis, keinginanmu untuk menikah adalah atas izinnya, tapi satu hal yang selalu kita lupa ukht.. apa yang menjadi Izin-Nya tak berarti menjadi Ridho-Nya. Jangan ukhti .. jangan engkau selalu meratapi dan menyesali apa yang telah berlaku dalam hidupmu, Allah punya rencana indah di atas rencana. Apa yang kamu alami sudah menjadi Rencana-Nya, dan di atas Rencana-Nya, Allah mempunyai Rencana lain untukmu ukhti. Sadarilah bahwa Allah Subhaanahu wa ta’ala adalah sebaik-baiknya Dzat Perencana.
Ukht.. Jika kamu selalu murung dan menyesali apa yang tengah melandamu saat ini , mungkinkah kamu bisa saja disebut sebagai hamba-Nya yang kurang bersyukur ???
Ukhti… engkau adalah gadis belia yang cantik dan manis, keinginanmu untuk menikah adalah atas izinnya, tapi satu hal yang selalu kita lupa ukht.. apa yang menjadi Izin-Nya tak berarti menjadi Ridho-Nya. Jangan ukhti .. jangan engkau selalu meratapi dan menyesali apa yang telah berlaku dalam hidupmu, Allah punya rencana indah di atas rencana. Apa yang kamu alami sudah menjadi Rencana-Nya, dan di atas Rencana-Nya, Allah mempunyai Rencana lain untukmu ukhti. Sadarilah bahwa Allah Subhaanahu wa ta’ala adalah sebaik-baiknya Dzat Perencana.
“Dan
berencanalah kalian, Allah membuat rencana. Dan Allah sebaik-baik perencana.”
(Ali Imran: 54)
Cinta memang terkadang membuat kita
lupa akan Kebesaran-Nya, taukah kau ukhti ..
Cinta yang Hakiki adalah cinta karena-Nya, jika cinta dalam hatimu datang semata-mata karena-Nya, engkaupun harus ikhlas meninggalkan cinta semata-mata karena-Nya. Cinta yang suci itu cinta yang tak pernah tersentuh oleh “cinta” sebelum cinta itu menjadi kehalalan bagi penikmatnya, sekalipun cinta itu hanya ada dalam kata-kata. Bisa jadi apa yang engkau alami saat ini adalah sebuah teguran sebagai bentuk rasa Cinta-Nya terhadapmu Ukhti. Mungkin selama ini engkau lupa bahwa apa yang kau jalani bersama seseorang yang engkau kagumi bukanlah sebuah tindakan yang di-Ridhoi-Nya. Dan Allah sedang memberikan Petunjuk-Nya kepadamu.. “Maka Allah menyesatkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki.. (QS. Ibrahim : 4)
Cinta yang Hakiki adalah cinta karena-Nya, jika cinta dalam hatimu datang semata-mata karena-Nya, engkaupun harus ikhlas meninggalkan cinta semata-mata karena-Nya. Cinta yang suci itu cinta yang tak pernah tersentuh oleh “cinta” sebelum cinta itu menjadi kehalalan bagi penikmatnya, sekalipun cinta itu hanya ada dalam kata-kata. Bisa jadi apa yang engkau alami saat ini adalah sebuah teguran sebagai bentuk rasa Cinta-Nya terhadapmu Ukhti. Mungkin selama ini engkau lupa bahwa apa yang kau jalani bersama seseorang yang engkau kagumi bukanlah sebuah tindakan yang di-Ridhoi-Nya. Dan Allah sedang memberikan Petunjuk-Nya kepadamu.. “Maka Allah menyesatkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki.. (QS. Ibrahim : 4)
Ukhti mungkin engkau akan
bertanya-tanya atas ujian yang melanda hatimu saat ini. Kenapa engkau diuji ?? Allah
telah menjawab dalam Al-Qur’an ukht : “Apakah manusia itu mengira bahawa mereka
dibiarkan saja mengatakan; “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji?
Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang yang benar dan, sesungguhnya Dia mengetahui
orang-orang yang dusta.” -(QS. Al-Ankabut ayat 2-3)
Dan jika engakau bertanya : Mengapa
aku tak dapat apa yang aku idam-idamkan ?
Allah juga telah menjawab dalam
Al-Qur’an:“Boleh jadi kamu membenci
sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” –
(QS Al-Baqarah ayat 216)
Sungguh Maha Benar Allah atas
segala Firman-Nya. Bersyukurlah ukhti, karna itu kunci pembuka Rahmat-Nya,
Allah sedang mengetuk hatimu, lihatlah bagaimana Allah sangat mencintaimu ukht,
Allah sedang memanggilmu untuk segera kembali ke jalan yang di-Ridhoi-Nya.
Ukhti.. sungguh aku mencintaimu
karna Allah..
Aku menorehkan pesan ini kepadamu
karna Allah
Aku melihat keberadaanmu karena
Allah..
Dan kita dipertemukan karna Allah,
Insyaa Allah ..
“Wassalamu’alaiki yaa Ukhti”
Tersentak
air mataku bercucuran dan hatiku luluh dalam tangisan, haru dan bahagia yang
kurasa saat itu, membaca inboxnya hatiku seperti ditiupkan nyawa kembali. Ya..
dia adalah rekan kerjaku, seorang akhwat yang lemah lembut, pintar, sopan,
berjilbab lebar, dan setiap apa yang dikatakannya mampu menenangkan hati
pendengarnya, sungguh beliau salah satu cerminan Akhwat sejati. Memang, sejak
awal lingkungan tempat kerjaku adalah tempat yang mampu memberikanku banyak
hikmah didalamnya, mulai dari aku yang belajar memperbaiki pakaianku, yang
biasanya jilbab setengah-setengah mulai ku labuhkan jilbab lebar, itulah jilbab
syar’i, kemudian aku yang mulai menyadari urgensi tarbiyah bagi muslimah sampai
pada ukhwah islamiyah yang mendarah daging. Subhaanallaah. Serasa, Aku ingin mencintainya karna Allah, dan aku
ingin seperti dia karna Allah. Aku bangkit dan aku harus berubah,
semangatku membara. Pada hari itu juga ku putuskan untuk tidak melanjutkan
hubungan terlarang dengan Ikhwan tersebut yang telah berlangsung kurang lebih 6
bulan lamanya, ku hubungi kembali Sang Ikhwan dan ku katakana padanya bahwa aku
ingin mengakhiri hubungan terlarang ini. Marah, kesal, dan emosi bercampur
kata-kata kasar yang justru Ikhwan itu lontarkan kepadaku, hinaan bahkan cacian
si Ikhwan ditimpa padaku saat aku memutuskan hubungan terlarang itu. Ya..
sepertinya dia belum bisa menerima keputusananku, jiwanya tak terkontrol
sementara marah menjadi raja atas dirinya ketika aku memutuskannya, semua aku
lakukan karna aku baru menyadari bahwa hubungan yang selama ini aku jalani
bukanlah cinta layaknya serial cinta Ali dan Fathimah, apa yang ku jalani
bukanlah kesucian cinta yang menjadi fitrah dari Allah Ta’ala, justru kecelakaan
cinta namanya. Sakit memang sakit mendengar kata-kata kasar yang keluar dari
mulut Sang Ikhwan, namun jiwaku mungkin akan lebih sakit jika masih ku jalani
hubungan terlarang itu dengannya. Hanya bait-bait doa mengharap ampunan-Nya
yang mampu ku tuturkan kala kegoncangan jiwa itu melanda “ Yaa Rabb, Cinta yang datang semata-mata karena-Mu, cinta itu juga
akan pergi semata-mata karena-Mu, maka berikanlah aku keikhlasan dalam menerima
datang dan perginya cinta yang Engkau fitrahkan pada setiap diri manusia. Dan sisi-kan-lah aku dalam penjagaan-Mu siang
maupun malam ketika cinta itu datang dan pergi seketika. Hanya kepada-Mu aku
berserah diri yaa Rabb….